Kalau kamu sering buka TikTok atau Instagram akhir-akhir ini, pasti sadar: gaya konten brand udah berubah. Dulu tampil rapi, tone visualnya konsisten, caption-nya penuh insight. Sekarang? Banyak yang justru tampil ala-ala netizen biasa. Kesannya random, penuh typo sengaja, dan seolah-olah bukan iklan.
Inilah tren UGC (User Generated Content) yang sekarang lagi ramai. Tapi... semua brand emang harus ikut tren ini?
Daftar Isi:
UGC alias User Generated Content adalah konten yang dibuat oleh pengguna, bukan langsung dari brand. Contohnya: seseorang review produk kamu di TikTok tanpa diminta, atau posting unboxing di Instagram. Gaya kontennya natural, kadang lucu, relatable, dan gak berasa “jualan banget”.
Inilah yang bikin UGC sering dianggap lebih autentik dan dipercaya audiens. Bahkan, performanya bisa ngalahin konten brand resmi!
Konten dari pengguna biasanya terasa lebih jujur dan real. Penonton merasa, “Oh, ini bukan iklan.” Mereka lebih mudah percaya karena kontennya relatable.
Selain itu, pembuat kontennya (user biasa atau creator kecil) punya motivasi sendiri. Kalau kontennya viral, mereka dapat exposure, engagement, dan bisa dilirik brand.
Tren ini juga membuka peluang buat usaha kecil. Banyak pebisnis yang membangun personal branding lewat konten ala UGC, tanpa harus bikin akun brand yang "serius banget". Orang jadi beli bukan cuma karena produknya, tapi juga karena suka dengan kepribadian si pemilik bisnis.
Kalau kamu adalah brand yang masih dijalankan sendiri, gaya personal ini bisa sangat powerful—selama tetap terarah.
Masalahnya, banyak brand besar atau brand yang sudah punya positioning kuat, ikut gaya UGC tanpa strategi. Hasilnya? Audiens bingung.
Brand yang biasanya dikenal elegan atau profesional, tiba-tiba ikut tren joget atau typo lucu-lucuan. Kalau gak dieksekusi dengan hati-hati, ini bisa merusak persepsi yang sudah dibangun bertahun-tahun.
Beri brief ringan ke user yang ingin bikin konten. Contoh: arahkan tone dan gaya kontennya tanpa membuatnya kaku. Hasilnya tetap organik, tapi gak lepas kendali.
Konten dari karyawan bisa jadi jembatan. Gaya ngomongnya kasual, tapi tetap membawa “suara brand”. Misalnya, video behind-the-scenes, pengalaman kerja, atau daily vlog kantor.
Pilih kreator yang tone-nya sesuai brand kamu. Mereka bisa menyampaikan pesan brand secara organik tanpa merusak citra.
Gabungkan konten UGC dengan konten resmi brand. Misalnya, 3 video dari kreator + 1 konten dari tim internal yang lebih polished.
Kalau tren gak relevan, gak usah dipaksakan. Fokus ke konten yang nyambung dengan value dan audiens kamu.
Jawabannya: tidak selalu. Cocok atau tidaknya tergantung banyak hal, misalnya:
Jenis Produk: F&B dan fashion lebih fleksibel dibanding B2B atau layanan profesional.
Model Bisnis: Brand D2C bisa lebih leluasa eksplorasi UGC, sementara B2B butuh pendekatan lebih terarah.
Target Market: Gen Z menyukai gaya UGC, tapi segmen dewasa atau korporat mungkin lebih cocok dengan pendekatan edukatif.
Platform Sosial: UGC di TikTok punya gaya berbeda dengan Instagram, YouTube, atau LinkedIn.
Perlu—kalau strateginya jelas. Jangan sekadar ikut-ikutan tren kalau akhirnya bikin brand kamu kehilangan suara.
UGC itu alat, bukan tujuan. Kuncinya adalah menyesuaikan gaya konten dengan identitas brand kamu, bukan mengorbankan semuanya demi FYP.
Adaptif itu penting, tapi tetap harus konsisten. Karena di tengah banjir konten hari ini, brand yang punya karakter dan suara yang kuat akan lebih mudah diingat.
Apa itu konten gaya UGC? |
UGC (User-Generated Content) adalah konten yang dibuat oleh pengguna atau pelanggan suatu brand. Gaya UGC mengacu pada format konten yang terlihat seperti buatan pengguna biasa, meskipun kadang dibuat oleh brand atau kreator profesional yang menirukan gayanya.
|
Kenapa konten UGC jadi tren di media sosial? |
Karena UGC terlihat lebih natural, jujur, dan relatable. Audiens cenderung lebih percaya konten yang terlihat seperti testimoni atau pengalaman asli daripada iklan yang terlalu sempurna.
|
Apakah brand perlu ikut-ikutan bikin konten gaya UGC? |
Tergantung. Kalau audiens kamu aktif di media sosial dan lebih suka konten yang ringan dan otentik, maka UGC-style bisa jadi strategi yang efektif. Tapi tetap harus relevan dengan karakter brand kamu.
|
Apa risikonya kalau brand asal ikut tren UGC? |
Kalau dilakukan asal-asalan, brand bisa terlihat memaksa atau malah kehilangan identitasnya. Konten yang terlalu “berpura-pura jadi user” tanpa strategi bisa bikin audiens kehilangan kepercayaan.
|
Gimana cara bikin konten UGC-style yang tetap profesional? |
Gunakan skrip atau format storytelling yang santai, tapi pastikan pesan brand tetap jelas. Kamu juga bisa kolaborasi dengan mikro-influencer atau content creator yang sudah terbiasa bikin konten otentik. |